Pengantar Ilmu Kalam



I.         PENDAHULUAN
Dalam sejarah, pergulatan pemikiran dalam disiplin ilmu kalam atau teologi terjadi demikian polemis. Perdebatan di bidang ini menyentuh bidang yang paling prinsip yakni soal keberimanan seseorang terhadap Tuhan dan segala aspek yang berkaitan dengannya. Diskursus tentang teologi ini menampilkan aliran-aliran teologi yang didominasi oleh dua kutub madzhab teologi yaitu Mu’tazilah dan Asy’ary dengan tokohnya masing-masing Washil bin Atha dan Abu Hasan al-asy’ary. Washil terkenal karena aliran teologi Mu’tazilah dan Asy’ary dengan Asy’ariyahnya. Dua nama ini menjadi kiblat pemikiran teologi umat Islam pada waktu itu.
Namun dilihat dari asal-usulnya, persoalan teologi awalnya dipicu oleh persoalan politik; yaitu persaingan politik antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah. Setelah wafatnya Utsman bin Affan karena dibunuh, pendukung Utsman bin Affan menuntut agar Ali mengusut siapa pembunuh Utsman. Karena usul ini tidak dilakukan, muncul perselisihan berkepanjangan antara dua kelompok ini.
Puncak dari perselisihan ini adalah terjadinya pertempuran antara mereka di daerah Shiffin pada abad ke-7 M. Pasukan Mu’awiyah hampir dikalahkan namun Amr bin Ash mengangkat al-Qur’an dan minta masalah ini diselesaikan dengan bertahkim kepada al-Qur’an. Usulnya diterima dan diadakanlah perundingan. Namun perundingan berakhir dengan diturunkannya Ali dari khilafah dan dinaikkannya Mu’awiyah sabagai pemimpin baru. Kekalahan pasukan Ali dalam perundingan menyebabkan munculnya kelompok khawarij yang ekstrem terhadap siapa saja yang berada diluar kelompoknya. Kelompok lain muncul sebagai pendukung Ali yaitu Syi’ah yang juga melakukan eksklusivisme dalam kelompoknya. Satu lagi adalah kelompok Mu’awiyah yang menjadi pendukung utama Utsman bin Affan.
Kelompok-kelompok tersebut saling melontarkan kecaman dan tuduhan kafir. Dari kenyataan ini muncullah persoalan teologi siapa yang kafir, siapa yang masuk surga dan neraka, dan sabagainya (Faruqi, 1994: 317).
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama yang kemudian memunculkan persoalan teologi yakni tuduhan siapa yang kafir di kalangan kaum muslimin. Mereka memandang bahwa orang yang berdosa besar telah berubah menjadi kafir. Orang-orang yang terlibat dan menyetujui perundingan pascaperang Shiffin adalah orang-orang yang berdosa besar.
Secara spesifik kelompok yang dapat disebut sebagau madzhab kalam atau teologi pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariyyah. Madzhab Qadariyah didirikan oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani (79 H/699 M). Madzhab ini berpandangan bahwa manusia mampu berbuat dan karena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an seperti tangan Tuhan, Tuhan melihat, dan mendengar difahami secara ta’wil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.
Faham Qadariyah mendapat perlawanan dari faham Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan (127 H/745 M). Pandangan utama faham ini adalah bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan termasuk keimanan, kebajikan dan kejahatannya. Manusia dalam hal ini tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak dan perbuatannya; karena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan pilihan atas segala perbuatannya.
II.      PEMBAHASAN
A.      Faham Mu’tazilah
Faham teologi yang paling besar digerakkan oleh Mu’tazilah. Munculnya gerakan Mu’tazilah merupakan tahapan yang penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Menurut Nurcholis Madjid, mereka adalah pelopor yang sungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Faham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai faham rasionalis Islam. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu, tulis Madjid, tampaknya adalah konsekwensi logis dari dambaan mereka kepada pemikiran sistematis(Madjid, 1984: 21).
Prinsi-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam apa yang disebut al-ushul al-khamsah atau “pokok-pokok yang lima” yaitu at-tauhid, al-manzilah bainal manzilatin, al-wa’d wal wa’id. Al-‘adl, dan al-amr bil ma’ruf wan nahy ‘anil munkar.
Prinsip at-tauhid dalam Mu’tazilah dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa diserupakan dengan sesuatu, tidak berjism, tidak berunsur, dan bukan substansi, bahkan Tuhanlah yang menciptakan segala yang berbadan, berunsur dan brsubstansi. Bagi Mu’tazilah Tuhan tidak memilliki sifat sebab apabila Tuhan memiliki sifat maka Tuhan berdimensi banyak. Yuhan hanya memiliki dzat atau esensi (Asy-Syahrastani, 1980: 42).
Prinsip al-manzilah bainal manzilatain dimaksudkan bahwa orang mu’min yang berbuat dosa besar, statusnya bukan mu’min. Tetapi bukan juga kafir, melaikan fasik. Posisinya antara mu’min dan kafir. Di akhirat ia bukan penghuni surga bukan juga penghuni neraka, melainkan antara surga dan neraka. Tingkatannya berada di bawah orang mu’min tetapi di atas orang fasik. Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih ringan dari pada siksa yang diterima orang kafir (Ibrahim Hasan, 1976: 430).
Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya.
Prinsip al-‘adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang diperintahkan-Nya dengan daya yang diberikan kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan, dan tidak menghendaki sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia kehendaki.
Sedangkan prinsip al-amr bil ma’ruf wan-nahy anil-munkar menurut Mu’tazilah adalah bahwa semua kaum Muslimin wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa yang tidak sejalan dengan faham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sefaham dangan mereka. Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inquisition.
Ajaran-ajaran Mu’tazilah yang penting lainnya adalah mereka berpandangan bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk artinya diciptakan Tuhan. Mereka beralasan bahwa setiap yang bukan Tuhan adalah makhluk. Jika al-Qur’an bukan makhluk maka ia kekal bersama Tuhan. Karena itu al-Qur’an tidak qadim. Mereka juga berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat. Karena itu mereka digolongkan dalam faham qadariyah. Mereka juga berpandangan bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat dengan mata kepala di hari kebangkitan (Al-Mas’udi 1982: 191-192).
Penghargaan Mu’tazilah terhadap akal demikian tinggi, mereka berpendapat akal mampu untuk mengetahui yang baik dari yang buruk meskipun syara’ tidak menentukannya. Menurut analisis Ahmad Amin sikap ini diambil sebagai reaksi terhadap orang-orang yang fanatik terhadap hadis meskipun statusnya dhaif dan mereka hanya berpedoman kepada nash saja; kalau mereka tidak mendapatkan nash mereka berhenti berfikkir dan tidak berani mengeluarkan suatu hukum. Sikap mereka ini diambil setelah menyadari bahwa bahay sedang mengancam umat Islam yaitu kebekuan berfikir sedemikian rupa (Amin, 1974:381).
Abul Huzail memperjelas ajaran nafyussifat dan as-salah wal-aslah. Aj-Jubba’i memperjelas daya akal dan kewajiban bersyukur kepada Tuhan. An-Nazzam memperjelas ajaran keadilan Tuhan. Al-Jahiz memperjelas pengaruh sunnatullah dalam perbuatan-perbuatan manusia. Muammar bin Abbad juga memperjelas peran sunnatullah.

B.       Faham Khawarij
Kata khawarij merupakan jama’ dari kharij, yaitu isim yang musytaq dari lafadz khuruj. Secara bahasa, kata ini berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Jadi secara bahasa dapat disimpulkan bahwa Khawarij adalah setiap orang yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Sedangkan menurut istilah terdapat berbagai pandangan ulama mengenai hal itu. Menurut al-Syahrastani, Khawarij adalah sebutan terhadap orang yang memberontak kepada imam yang sah. Sedangkan menurut sebagian ulama ilmu kalam, Khawarij adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Jadi sekte Khawarij adalah sekte yang terbentuk karena ketidaksetujuan terhadap keputusan Ali, karena Ali telah bersedia dan menerima tahkim, maka akhirnya sekte tersebut keluar dari kelompok Ali tersebut. Nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah. Secara historis Khawarij adalah Firqah bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya AlFatawa,“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.” Jadi dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa Khawarij adalah bid’ah pertama yang terjadi dalam Islam, karena pemahaman yang sepihak mengenai al-Qur’an.
Dalam hal doktrin, Khawarij dapat dikatakan terlalu radikal, anarchis, yang memusuhi semua pihak dan tidak mau diatur. Adapun doktrin-doktrin Khawarij adalah berikut ini:
a)      Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b)      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian, setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c)      Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kedzaliman.
d)     Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng.
e)      Khalifah Ali sebenarnya sah, tetapi setelah tahkim dianggap telah menyeleweng.
f)       Muawiyah, Amr bin al-‘Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g)      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h)      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i)        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam negara musuh, sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam negara Islam.
j)        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k)      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka).
l)        Amar ma’ruf nahi munkar
m)    Memalingkan ayat-ayat al-Qur’an yang tampak mutasyabihat.
n)      Qur’an adalah makhluk
C.      Faham Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Jadi kaum Murji’ah adalah kaum yang menangguhkan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Selanjutnya, arja’a juga berarti memberi pengharapan. Hal ini dikarenakan golongan tersebut berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal di dalam neraka, memang memberikan pengharapan bagi yang berbuat dosa untuk mendapat rahmat Allah. swt. Bisa juga irja’ tersebut berma’na ta’khir atau mengakhirkan. Hal tersebut berarti segala keputusan mengenai apakah beriman atau tidak berada di akhir yaitu setelah hari Kiamat.
Secara istilah kaum Murji’ah adalah kaum yang menangguhkan keputusan tentang perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam sampai di hadapan Tuhan nanti. Jadi, aliran atau sekte Murji’ah adalah sekelompok atau segolongan orang yang menunda keputusan mengenai masalah-masalah perselisihan seperti khilafah dan lain sebagainya, sampai di hadapan Tuhan, ketika manusia menghadap Tuhan nanti. Dalam Tarikh al-Baghdad, diterangkan bahwa golongan ini bukan termasuk golongan dalam Islam.
Berkaitan dengan doktrin Murji’ah, Watt, sebagaimana yang dikutip oleh Rozak dan Anwar, merincinya sebagai berikut:
a)      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b)      Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah al-Rasyidun.
c)      Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Sedangkan Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok Murji’ah, antara lain:
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa, yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
4.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Jadi pada dasarnya doktrin yang dikembangkan sifatnya adalah penangguhan dan pemberian harapan kepada muslim juga bersifat diam jika terdapat permasalahan yang sedang terjadi. Demikian juga penafsirannya atas ayat-ayat al-Qur’an dan hadits. Hampir semua ayat yang menunjukkan ampunan terhadap dosa dan harapan masuk surga mereka tafsiri dan digunakan sebagai tandensi.
D.      Faham Syi’ah
       Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة  Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī  شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang  membuat mereka ektrem yaitu:
(1)   Tanasukh yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.
(2)   Bada’ yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya. Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat  memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan, maka itu dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
(3)   Raj’ah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.
(4)   Tasbih artinya  menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
(5)   Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah.
(6)   Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.
E.       Faham Asy’ariyah
Akan hal Asy’ari, tokoh ini berhasil mengukuhkan fahamya juga melalui pendekatan rasional dan sistematika berfikir Mu’tazilah. Pemikiran-pemikirannya banyak diungkapkan sebagai reaksi dan kritik terhadap faham Mu’tazilah. Kitab-kitab yang ditulisnya tidak kurang dari 90 buah, namun yang terkenal antara lain adalah Maqalat al-Islamiyyin, al-Ibanah fi ushul ad-Diyanah, dan al-Luma’.
Dalam hal sifat Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat seperti  ilm, hayat, sama’, bashar dan qudrat. Sifat-sifat tersebut bukanlah dzat-Nya. Kalau itu dzat-Nya berarti dzatnya adalah pengetahuan, dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukanlah ilmu melainkan ‘alim (yang mengetahui) (al-Asy’ari, 1955: 30).
Tentang al-Qur’an, Asy’ari berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim, dan bukan makhluk. Kalau ia dinyatakan makhluk maka apa yang dimaksud dengan surat an-Nahl ayat 40 (10). Untuk menciptakan sesuatu Allah hanya mengatakan “kun” sementara untuk terciptanya “kun” itu memerlukan “kun” yang lain. Begitulah seterusnya, sehingga mengakibatkan rangkaian “kun” yang tidak berkesudahan; hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin (Al-Asy’ari, 1955: 33-34.).
Tentang melihat Allah, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala langsung di akhirat. Alasannya sesuai dengan surat al-Qiyamah ayat 22 dan secara akal dia mengatakan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat disandarkan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa kepada pengertian kehawaditsan (diciptakan)nya Tuhan. Sedangkan sifat dapatnya Tuhan dilihat di akhirat tidak membawa kepada pengertian demikian, karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan (Al-Asy’ari, 1955: 51).
Tentagn kedudukan akal, Asy’ari berpendapat menusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun dengan akalnya manusia tidak akan dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak, karena kewajiban hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu (Asy-Syahrastani, 1980: 42). Demikian pula akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib; dengan demikian tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib (Asy-Syahrastani, 1980: 101-102).
Dalam memahami dalil-dalil naqli, Asy’ari berpegang pada arti lahiriah atau lafadz dan tidak mentakwilkannya. Yad Allah berarti tangan Allah, wajhu rabbik diartikan wajah Allah. Dengan demikian Asy’ari berpendapat Tuhan mempunyai tangan, wajah, bertahta di atas arasy dan sebagainya namun tidak bisa ditentukan”bagaimana” (bila kayfa) (Al Asy’ari, 1955: 9).
Tentang mukmin yang berdosa besar, menurut Asy’ari kepada Tuhan tidak dapat dikenai kewajiban. Ia berkuasa mutlak. Bisa saja semua orang atas kehendak-Nya dimasukkan ke surga. Hal demikian tidak dapat disebut bahwa Allah bersifat tidak adil. Bisa juga semua orang dimasukkan ke neraka. Hal ini tidak berarti Tuhan bersifat zalim (Asy-Syahrastani, 1980: 101).
Akan halnya al-kasb Asy’ari ingin menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan mutlak Tuhan (Nasution, 1994:106). Sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Dengan kata lain al-kasb adalah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (yang memperolah) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Menurut kesimpulan Harun Nasution, teori kasb Asy’ari cenderung dekat pada faham jabariyah (Nasution, 1994: 107).
Usaha Asy’ari menurut pengamatan Nurcholish Madjid berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mun’tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri. Dengan sistem teologinya ia berhasil mengkonsolidasi ummat dalam pemikiran kalam yang kemudian dikenal dengan faham sunni. Kedudukannya semakin mantap dalam bangunan intelektual Islam (Madjid, 1984: 28). Usahanya mencoba mencari jalan tengah antara faham Jabariyah dan Qadariyah cepat menjadi populer di kalangan umat Islam. Teori kalamnya kemudian diterima sebagai rumusan ajaran pokok agama (ushuluddin) yang sah dan melembaga di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Hal ini dapat diduga karena Mu’tazilah pernah dipaksakan sabagai madzhab negara oleh al-Ma’mun dalam apa yang disebut al-mihnah sehingga menimbulkan antipati ummat. Di samping itu teologi Mu’tazilah kurang dapat diterima oleh kalangan awam karena dianggap terlalu liberal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkemuka setelah Abu Hasan adalah al-Baqillani, al-Juwaeni, dan al-Ghazali. Tokoh yang disebut terakhir dapat disebut berpengaruh besar dalam menyebarkan faham Asy’ariyah.
F.       Faham Ahlussunnah
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;
“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
(Kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
       Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
G.      Metode Ilmu Kalam
Dari uraian pemikiran-pemikiran kalam di atas setidak-tidaknya kita dapat menunjukkan bahwa pembicaraan kalam itu biasanya menyangkut hal-hal berikut :
1.              Konsep Iman
2.              Konsep Keesaan Tuhan
3.              Konsep Kehendak Mutlak Tuhan
4.              Konsep Kehendak Bebas Manusia
5.              Konsep Keadilan Tuhan
6.              Konsep Kasb Manusia
7.              Konsep Melihat Tuhan di Akhirat
8.              Konsep Janji dan Ancaman Tuhan
9.              Konsep Urgensi Wahyu
10.          Konsep Status al-Qur’an
Konsep iman dapat diungkapkan dalam tiga bentuk; apakah iman diungkapkan hanya dengan perkataan, perbuatan atau kedua-duanya. Kalau dengan perkataan saja maka perbuatan tidak penting dan tidak berpengaruh. Kalau perbuatan saja maka perkataan tidak mempengaruhi. Kalau keduanya berarti harus dengan ucapan dan diikuti perbuatan. Apabila kita ingin meneliti konsep kalam seseorang maka dapat kita teliti sepuluh konsep di atas yang dianut oleh orang itu. Disertasi-disertasi mengenai pemikiran Kalam yang ditulis oleh mahasiswa S-3 IAIN Jakarta pada intinya memuat sepuluh point di atas. Pernah ditulis disertasi berjudul “Pemikiran Kalam HAMKA” dan “Pemikiran Kalam Syaikh al-Maraghi”; isinya tidak lebih dari penelitian tokoh itu terhadap 10 konsep diatas.
H.      Statis dan Konvensional
Penelitian kalam klasik ini tergolong statis dan konvensional. Orang seperti tidak dapat menemukan teori dan model penelitian baru. Ditambah lagi, penelitian ilmu kalam cenderung hitam putih, dalam arti apabila pemikiran kalam seseorang yang diteliti itu adalah A maka tidak mungkin dapat mengkonvergensi dengan pemikiran B. Orang yang menganut faham bahwa manusia itu memiliki perbuatan dan bukan Tuhan yang melakukan perbuatan seolah-olah ia adalah Mu’tazilah. Sementara kalau manusia berencana Tuhan menentukan maka ia adalah Jabariyah, seperti tidak bisa dipertemukan antara kemutlakan Tuhan dengan kehendak berbuat manusia.
Dua kutub teologi Qadariyah dan Jabariyah memang cenderung ekstrem. Yang disebut pertama adalah ekstrem dalam hal kekuasaan manusia, yang kedua ekstrem dalam kemutlakan Tuhan. Demikian juga teologi Mu’tazilah dikesankan sebagai representasi Qadariyah; dan teologi Asy’ariyah dikesankan sebagai Jabariyah. Apakah dalam hidup manusia berlaku hukum “pasti ini pasti itu”? Akibatnya pembicaraan dalam pemikiran kalam cenderung terjadi “pemborosan”, dalam arti terlalu banyak waktu yang terbuang untuk memikirkan otoritas Tuhan atas manusia.
Teologi yang dipelajari di IAIN dan PTAIS pada umumnya adalah warisan sejarah yang sekarang cenderung kurang populer. Karena itu perlakuan kita hanyalah menjadikannya catatan sejarah. Kita dapat menciptakan teologi alternatif yang lebih baik tanpa terjebak pada produk pemikiran sejarah diatas.
III.        PENUTUP
Pembahasan kalam sebagaimana dipaparkan di atas, baik yang berkaitan dengan pemahaman dasar  tentang ilmu kalam, ruang lingkup pembahasan, maupun metode yang digunakan dalam ilmu kalam, merupakan sebuah deskripsi sekaligus analisis untuk melihat bagaimana sebetulnya paradigma keilmuan yang ada dalam kalam. Ini penting seagai vantage point dalam rangka membuka katup-katup “dogmatisme” dan mengembangkan sebuah konstruksi baru keilmuan kalam ke depan seiring dengan dinamika perkembangan pemikiran dalam sejarah. Dalam konteks ini, penting pula kiranya membedakan rekam jejak keilmuan kalam sepanjang arkeologi sejarah.  























DAFTAR PUSTAKA


al-Asyari, Abu Hasan, Kitab al-Luma fir Radd ala Ahliz Ziyaghwal Bida’ Mathba’ah Muinah, 1955.

Amin,  Ahmad, Fajar Islam, Jakarta: Bulan Bintang: 1968.

Asy-Syahrastani, Al-Milal wan Nihal, Jilid I, Beirut: Darul Ma’arif, 1980

Faruqi, Ismail The Cultural Atlas of Islam, Bandung: Mizan, 1984.

Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, as-Siyasah wad Diny ats-Tsaqafy wal Ijtima’i, Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976.

Madjid, Nurcholish.  Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

Al-Mas’udi, Muruj az-Zahab wa Ma’adin al-Jawhr, Beirut: Dar el-Kitab al-Lubnani, 1982.

Nasution, Harun.  Teologi Islam, Jakarta :UI Press, 1994
Share on Google Plus

About SMP ALAM GENTENG

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment