I.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah, pergulatan pemikiran dalam disiplin ilmu kalam atau
teologi terjadi demikian polemis. Perdebatan di bidang ini menyentuh bidang
yang paling prinsip yakni soal keberimanan seseorang terhadap Tuhan dan segala
aspek yang berkaitan dengannya. Diskursus tentang teologi ini menampilkan
aliran-aliran teologi yang didominasi oleh dua kutub madzhab teologi yaitu
Mu’tazilah dan Asy’ary dengan tokohnya masing-masing Washil bin Atha dan Abu
Hasan al-asy’ary. Washil terkenal karena aliran teologi Mu’tazilah dan Asy’ary
dengan Asy’ariyahnya. Dua nama ini menjadi kiblat pemikiran teologi umat Islam
pada waktu itu.
Namun dilihat dari asal-usulnya, persoalan teologi awalnya dipicu
oleh persoalan politik; yaitu persaingan politik antara kelompok Ali bin Abi Thalib
dengan kelompok Mu’awiyah. Setelah wafatnya Utsman bin Affan karena dibunuh,
pendukung Utsman bin Affan menuntut agar Ali mengusut siapa pembunuh Utsman.
Karena usul ini tidak dilakukan, muncul perselisihan berkepanjangan antara dua
kelompok ini.
Puncak dari perselisihan ini adalah terjadinya pertempuran antara
mereka di daerah Shiffin pada abad ke-7 M. Pasukan Mu’awiyah hampir dikalahkan
namun Amr bin Ash mengangkat al-Qur’an dan minta masalah ini diselesaikan
dengan bertahkim kepada al-Qur’an. Usulnya diterima dan diadakanlah
perundingan. Namun perundingan berakhir dengan diturunkannya Ali dari khilafah
dan dinaikkannya Mu’awiyah sabagai pemimpin baru. Kekalahan pasukan Ali dalam
perundingan menyebabkan munculnya kelompok khawarij yang ekstrem terhadap
siapa saja yang berada diluar kelompoknya. Kelompok lain muncul sebagai
pendukung Ali yaitu Syi’ah yang juga melakukan eksklusivisme dalam
kelompoknya. Satu lagi adalah kelompok Mu’awiyah yang menjadi pendukung utama
Utsman bin Affan.
Kelompok-kelompok tersebut saling melontarkan kecaman dan tuduhan
kafir. Dari kenyataan ini muncullah persoalan teologi siapa yang kafir, siapa
yang masuk surga dan neraka, dan sabagainya (Faruqi, 1994: 317).
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama yang kemudian
memunculkan persoalan teologi yakni tuduhan siapa yang kafir di kalangan kaum
muslimin. Mereka memandang bahwa orang yang berdosa besar telah berubah menjadi
kafir. Orang-orang yang terlibat dan menyetujui perundingan pascaperang Shiffin
adalah orang-orang yang berdosa besar.
Secara spesifik kelompok yang dapat disebut sebagau madzhab kalam
atau teologi pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariyyah. Madzhab Qadariyah
didirikan oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani (79 H/699 M). Madzhab ini
berpandangan bahwa manusia mampu berbuat dan karena itu bertanggung jawab atas
perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an seperti tangan Tuhan, Tuhan melihat, dan
mendengar difahami secara ta’wil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara
harfiah.
Faham Qadariyah mendapat perlawanan dari faham Jabariyah yang
dipelopori oleh Jahm bin Shafwan (127 H/745 M). Pandangan utama faham ini
adalah bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan termasuk
keimanan, kebajikan dan kejahatannya. Manusia dalam hal ini tergantung dari
kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak dan perbuatannya; karena itu
tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan pilihan atas segala perbuatannya.
II. PEMBAHASAN
A.
Faham Mu’tazilah
Faham
teologi yang paling besar digerakkan oleh Mu’tazilah. Munculnya gerakan
Mu’tazilah merupakan tahapan yang penting dalam sejarah perkembangan
intelektual Islam. Menurut Nurcholis Madjid, mereka adalah pelopor yang
sungguh-sungguh untuk digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam
secara lebih sistematis. Faham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal
sebagai faham rasionalis Islam. Sikap mereka yang rasionalistik dimulai dari
titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh
dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama. Sikap itu, tulis Madjid,
tampaknya adalah konsekwensi logis dari dambaan mereka kepada pemikiran
sistematis(Madjid, 1984: 21).
Prinsi-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam apa yang disebut al-ushul
al-khamsah atau “pokok-pokok yang lima” yaitu at-tauhid, al-manzilah
bainal manzilatin, al-wa’d wal wa’id. Al-‘adl, dan al-amr bil ma’ruf wan nahy
‘anil munkar.
Prinsip
at-tauhid dalam Mu’tazilah dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa
diserupakan dengan sesuatu, tidak berjism, tidak berunsur, dan bukan
substansi, bahkan Tuhanlah yang menciptakan segala yang berbadan, berunsur dan
brsubstansi. Bagi Mu’tazilah Tuhan tidak memilliki sifat sebab apabila Tuhan
memiliki sifat maka Tuhan berdimensi banyak. Yuhan hanya memiliki dzat atau
esensi (Asy-Syahrastani, 1980: 42).
Prinsip
al-manzilah bainal manzilatain dimaksudkan bahwa orang mu’min yang
berbuat dosa besar, statusnya bukan mu’min. Tetapi bukan juga kafir, melaikan
fasik. Posisinya antara mu’min dan kafir. Di akhirat ia bukan penghuni surga
bukan juga penghuni neraka, melainkan antara surga dan neraka. Tingkatannya
berada di bawah orang mu’min tetapi di atas orang fasik. Bila ia meninggal
tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa yang ia terima lebih
ringan dari pada siksa yang diterima orang kafir (Ibrahim Hasan, 1976: 430).
Prinsip
al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan memberikan balasan
sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa yang keluar dari dunia ini
dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia berhak memasuki surga. Siapa yang
keluar dari dunia ini dengan penuh maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan
akan menepati janjinya dan tidak akan mengingkarinya.
Prinsip
al-‘adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai keburukan dan tidak
menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan apa yang
diperintahkan-Nya dengan daya yang diberikan kepada mereka. Tuhan hanya
memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki dan melarang apa yang tidak Dia sukai.
Dia menguasai kebaikan-kebaikan yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan
dalam keburukan-keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia
sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan, dan tidak menghendaki sesuatu yang
tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat melakukan
sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan. Hanya Tuhanlah
satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan menghilangkannya jika ia kehendaki.
Sedangkan
prinsip al-amr bil ma’ruf wan-nahy anil-munkar menurut Mu’tazilah adalah
bahwa semua kaum Muslimin wajib menegakkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi
perbuatan munkar. Karena prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa yang
tidak sejalan dengan faham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara
pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sefaham dangan mereka. Peristiwa
pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau inquisition.
Ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang penting lainnya adalah mereka berpandangan bahwa al-Qur’an itu
adalah makhluk artinya diciptakan Tuhan. Mereka beralasan bahwa
setiap yang bukan Tuhan adalah makhluk. Jika al-Qur’an bukan makhluk maka ia
kekal bersama Tuhan. Karena itu al-Qur’an tidak qadim. Mereka juga berpandangan
bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat. Karena itu mereka digolongkan dalam
faham qadariyah. Mereka juga berpandangan bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat
dengan mata kepala di hari kebangkitan (Al-Mas’udi 1982: 191-192).
Penghargaan
Mu’tazilah terhadap akal demikian tinggi, mereka berpendapat akal mampu untuk
mengetahui yang baik dari yang buruk meskipun syara’ tidak menentukannya.
Menurut analisis Ahmad Amin sikap ini diambil sebagai reaksi terhadap
orang-orang yang fanatik terhadap hadis meskipun statusnya dhaif dan mereka
hanya berpedoman kepada nash saja; kalau mereka tidak mendapatkan nash mereka
berhenti berfikkir dan tidak berani mengeluarkan suatu hukum. Sikap mereka ini
diambil setelah menyadari bahwa bahay sedang mengancam umat Islam yaitu
kebekuan berfikir sedemikian rupa (Amin, 1974:381).
Abul
Huzail memperjelas ajaran nafyussifat dan as-salah wal-aslah.
Aj-Jubba’i memperjelas daya akal dan kewajiban bersyukur kepada Tuhan.
An-Nazzam memperjelas ajaran keadilan Tuhan. Al-Jahiz memperjelas pengaruh sunnatullah
dalam perbuatan-perbuatan manusia. Muammar bin Abbad juga memperjelas peran sunnatullah.
B.
Faham Khawarij
Kata
khawarij merupakan jama’ dari kharij, yaitu isim yang musytaq dari
lafadz khuruj. Secara bahasa, kata ini berarti keluar, muncul, timbul
atau memberontak. Jadi secara bahasa dapat disimpulkan bahwa Khawarij adalah
setiap orang yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Sedangkan
menurut istilah terdapat berbagai pandangan ulama mengenai hal itu. Menurut
al-Syahrastani, Khawarij adalah sebutan terhadap orang yang memberontak kepada
imam yang sah. Sedangkan menurut sebagian ulama ilmu kalam, Khawarij adalah
suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan
kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan
khilafah.
Jadi
sekte Khawarij adalah sekte yang terbentuk karena ketidaksetujuan terhadap
keputusan Ali, karena Ali telah bersedia dan menerima tahkim, maka akhirnya
sekte tersebut keluar dari kelompok Ali tersebut. Nama khawarij bukanlah
berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan
Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa
raga mereka demi keridhaan Allah. Secara historis Khawarij adalah Firqah bathil
yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah
dalam kitabnya Al‑Fatawa,“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah
Khawarij.” Jadi dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa
Khawarij adalah bid’ah pertama yang terjadi dalam Islam, karena pemahaman yang
sepihak mengenai al-Qur’an.
Dalam hal doktrin, Khawarij dapat dikatakan terlalu radikal,
anarchis, yang memusuhi semua pihak dan tidak mau diatur. Adapun
doktrin-doktrin Khawarij adalah berikut ini:
a)
Khalifah
atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b)
Khalifah
tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian, setiap orang muslim berhak
menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c)
Khalifah
dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kedzaliman.
d)
Khalifah
sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun
ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng.
e)
Khalifah
Ali sebenarnya sah, tetapi setelah tahkim dianggap telah menyeleweng.
f)
Muawiyah,
Amr bin al-‘Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah
menjadi kafir.
g)
Pasukan
perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
h)
Seseorang
yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang
sangat anarkis lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir
apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan
resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i)
Setiap
muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam negara musuh, sedang golongan
mereka sendiri dianggap berada dalam negara Islam.
j)
Seseorang
harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k)
Adanya
wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat
harus masuk neraka).
l)
Amar
ma’ruf nahi munkar
m)
Memalingkan
ayat-ayat al-Qur’an yang tampak mutasyabihat.
n)
Qur’an
adalah makhluk
C.
Faham Murji’ah
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan dan pengharapan. Jadi kaum Murji’ah adalah kaum yang menangguhkan.
Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada
pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu,
arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Selanjutnya, arja’a juga berarti memberi
pengharapan. Hal ini dikarenakan golongan tersebut berpendapat bahwa orang
Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak
akan kekal di dalam neraka, memang memberikan pengharapan bagi yang berbuat
dosa untuk mendapat rahmat Allah. swt. Bisa juga irja’ tersebut berma’na
ta’khir atau mengakhirkan. Hal tersebut berarti segala keputusan mengenai
apakah beriman atau tidak berada di akhir yaitu setelah hari Kiamat.
Secara
istilah kaum Murji’ah adalah kaum yang menangguhkan keputusan tentang
perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam sampai di hadapan Tuhan nanti.
Jadi, aliran atau sekte Murji’ah adalah sekelompok atau segolongan orang yang
menunda keputusan mengenai masalah-masalah perselisihan seperti khilafah dan
lain sebagainya, sampai di hadapan Tuhan, ketika manusia menghadap Tuhan nanti.
Dalam Tarikh al-Baghdad, diterangkan bahwa golongan ini bukan termasuk golongan
dalam Islam.
Berkaitan dengan doktrin Murji’ah, Watt, sebagaimana yang dikutip
oleh Rozak dan Anwar, merincinya sebagai berikut:
a)
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.
b)
Penangguhan
Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah al-Rasyidun.
c)
Pemberian
harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai pengajaran para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Sedangkan Harun
Nasution menyebutkan empat ajaran pokok Murji’ah, antara lain:
1.
Menunda
hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa, yang terlibat tahkim dan
menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan
pentingnya iman daripada amal.
4.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
Jadi
pada dasarnya doktrin yang dikembangkan sifatnya adalah penangguhan dan
pemberian harapan kepada muslim juga bersifat diam jika terdapat permasalahan
yang sedang terjadi. Demikian juga penafsirannya atas ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits. Hampir semua ayat yang menunjukkan ampunan terhadap dosa dan harapan
masuk surga mereka tafsiri dan digunakan sebagai tandensi.
D.
Faham Syi’ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه)
ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan
dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam
Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali.
Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran
Syi'ah.
Istilah
Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة
Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya
"pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali,
kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa
syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain
itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi
Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang
tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal
beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami
perpecahan mazhab.
Muslim
Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam
setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi
Sunnah.
Secara
khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus
kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya
yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui
perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari
Allah.
Perbedaan
antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang
tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai
Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah
berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu
Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa
memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun
sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat
ini.
Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang
membuat mereka ektrem yaitu:
(1)
Tanasukh
yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad
yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu
berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih
rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada
kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep
imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin
Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam seterusnya kepada
imam-imam secara turun-temurun.
(2)
Bada’
yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan dengan
perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya. Syahrastani
menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan Syi’ah Ghulat
memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan
sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan
kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang
dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka
artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah yang
sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan dirinya dengan
mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan
kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya
akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan,
maka itu dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi
sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’
(3)
Raj’ah
yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa
Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini
merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat
tentang siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali
itu adalah Ali dan sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah
Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar
ats-Tsaqafi.
(4)
Tasbih
artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
(5)
Hulul
artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada
setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam
diri imam sehingga imam harus disembah.
(6)
Ghayba
yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah
bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata
biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada
tahun 66 H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai
Imam Mahdi.
E.
Faham Asy’ariyah
Akan
hal Asy’ari, tokoh ini berhasil mengukuhkan fahamya juga melalui pendekatan
rasional dan sistematika berfikir Mu’tazilah. Pemikiran-pemikirannya banyak
diungkapkan sebagai reaksi dan kritik terhadap faham Mu’tazilah. Kitab-kitab
yang ditulisnya tidak kurang dari 90 buah, namun yang terkenal antara lain
adalah Maqalat al-Islamiyyin, al-Ibanah
fi ushul ad-Diyanah, dan al-Luma’.
Dalam hal sifat Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai sifat seperti ilm,
hayat, sama’, bashar dan qudrat. Sifat-sifat tersebut bukanlah dzat-Nya. Kalau
itu dzat-Nya berarti dzatnya adalah pengetahuan, dan Tuhan sendiri adalah
pengetahuan. Tuhan bukanlah ilmu melainkan ‘alim (yang mengetahui) (al-Asy’ari, 1955: 30).
Tentang al-Qur’an, Asy’ari berpendapat bahwa
al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim, dan bukan makhluk. Kalau ia dinyatakan
makhluk maka apa yang dimaksud dengan surat an-Nahl ayat 40 (10). Untuk
menciptakan sesuatu Allah hanya mengatakan “kun” sementara untuk terciptanya
“kun” itu memerlukan “kun” yang lain. Begitulah seterusnya, sehingga
mengakibatkan rangkaian “kun” yang tidak berkesudahan; hal ini adalah sesuatu
yang tidak mungkin (Al-Asy’ari, 1955:
33-34.).
Tentang melihat Allah, Asy’ari berpendapat bahwa
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala langsung di akhirat. Alasannya sesuai
dengan surat al-Qiyamah ayat 22 dan secara akal dia mengatakan bahwa
sifat-sifat yang tidak dapat disandarkan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang
membawa kepada pengertian kehawaditsan (diciptakan)nya Tuhan. Sedangkan sifat dapatnya Tuhan dilihat di akhirat tidak membawa kepada
pengertian demikian, karena apa yang dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa
ia mesti bersifat diciptakan (Al-Asy’ari, 1955: 51).
Tentagn kedudukan akal, Asy’ari berpendapat menusia
dengan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun dengan akalnya manusia
tidak akan dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu wajib atau tidak, karena
kewajiban hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu (Asy-Syahrastani, 1980: 42).
Demikian pula akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib; dengan
demikian tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan jahat adalah wajib (Asy-Syahrastani, 1980: 101-102).
Dalam memahami dalil-dalil naqli, Asy’ari berpegang
pada arti lahiriah atau lafadz dan tidak mentakwilkannya. Yad Allah berarti tangan Allah, wajhu rabbik diartikan wajah Allah. Dengan demikian
Asy’ari berpendapat Tuhan mempunyai tangan, wajah, bertahta di atas arasy dan
sebagainya namun tidak bisa ditentukan”bagaimana” (bila kayfa) (Al Asy’ari, 1955: 9).
Tentang mukmin yang berdosa besar, menurut Asy’ari
kepada Tuhan tidak dapat dikenai kewajiban. Ia berkuasa mutlak. Bisa saja semua
orang atas kehendak-Nya dimasukkan ke surga. Hal demikian tidak dapat disebut
bahwa Allah bersifat tidak adil. Bisa juga semua orang dimasukkan ke neraka.
Hal ini tidak berarti Tuhan bersifat zalim (Asy-Syahrastani,
1980: 101).
Akan halnya al-kasb Asy’ari ingin menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan
mutlak Tuhan (Nasution,
1994:106). Sesuatu terjadi dengan perantaraan
daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya
perbuatan itu timbul. Dengan kata lain al-kasb adalah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (yang memperolah) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Menurut
kesimpulan Harun Nasution, teori kasb Asy’ari cenderung dekat pada faham jabariyah (Nasution, 1994:
107).
Usaha Asy’ari menurut pengamatan Nurcholish Madjid
berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mun’tazilah dengan menggunakan logika mereka
sendiri. Dengan sistem teologinya ia berhasil mengkonsolidasi ummat dalam
pemikiran kalam yang kemudian dikenal dengan faham sunni. Kedudukannya semakin
mantap dalam bangunan intelektual Islam (Madjid, 1984: 28). Usahanya mencoba mencari jalan tengah
antara faham Jabariyah dan Qadariyah cepat menjadi populer di kalangan umat
Islam. Teori kalamnya kemudian diterima sebagai rumusan ajaran pokok agama
(ushuluddin) yang sah dan melembaga di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Hal ini dapat diduga karena Mu’tazilah pernah
dipaksakan sabagai madzhab negara oleh al-Ma’mun dalam apa yang disebut al-mihnah sehingga menimbulkan antipati ummat. Di
samping itu teologi Mu’tazilah kurang dapat diterima oleh kalangan awam karena
dianggap terlalu liberal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.
Tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkemuka
setelah Abu Hasan adalah al-Baqillani, al-Juwaeni, dan al-Ghazali. Tokoh yang
disebut terakhir dapat disebut berpengaruh besar dalam menyebarkan faham
Asy’ariyah.
F.
Faham Ahlussunnah
Secara
etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa
mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau,
golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih
khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus
Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan
tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus
Sunnah.
Kata
"Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah
dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan
para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari
yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan
dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua,
lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan
lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.
Kedua
makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan
dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah
terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada
beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang
kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6
riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan
hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits
yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah,
semua di nearka kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah
yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa
riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل
الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.
(الجماعة Tetapi yang paling
banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis kutipkan sebagian
hadits tentang firqah atau millah:.
Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz
1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;
“yang dimaksudkan
dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi
ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan
pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi
SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh
Allah SWT”.
Dalam
sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“ Akan terpecah
umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan,
Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka
kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai
Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para
sahabatku”. (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Dari
pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu
agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’
dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi
menjadi firqah-firqah.
Umat
Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya?
Bilangan 73 apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak,
sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam
firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,
berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan
pendapat mereka asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi
Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap
sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian
semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai
dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak
kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil
iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di
neraka dahulu.
(Kelompok
yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه
) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa dan jamaah. tidak
harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.
Istilah
ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan
Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan
perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat
Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas,
yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun,
yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Ajaran
yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru
dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari
satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka
Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap
khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes
keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab
ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari.
Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa
madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh
Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka
mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab
Salaf.
G.
Metode Ilmu Kalam
Dari
uraian pemikiran-pemikiran kalam di atas setidak-tidaknya kita dapat menunjukkan
bahwa pembicaraan kalam itu biasanya menyangkut hal-hal berikut :
1.
Konsep
Iman
2.
Konsep
Keesaan Tuhan
3.
Konsep
Kehendak Mutlak Tuhan
4.
Konsep
Kehendak Bebas Manusia
5.
Konsep
Keadilan Tuhan
6.
Konsep
Kasb Manusia
7.
Konsep
Melihat Tuhan di Akhirat
8.
Konsep
Janji dan Ancaman Tuhan
9.
Konsep
Urgensi Wahyu
10.
Konsep
Status al-Qur’an
Konsep
iman dapat diungkapkan dalam tiga bentuk; apakah iman diungkapkan hanya dengan
perkataan, perbuatan atau kedua-duanya. Kalau dengan perkataan saja maka
perbuatan tidak penting dan tidak berpengaruh. Kalau perbuatan saja maka
perkataan tidak mempengaruhi. Kalau keduanya berarti harus dengan ucapan dan
diikuti perbuatan. Apabila kita ingin meneliti konsep kalam seseorang maka
dapat kita teliti sepuluh konsep di atas yang dianut oleh orang itu.
Disertasi-disertasi mengenai pemikiran Kalam yang ditulis oleh mahasiswa S-3
IAIN Jakarta pada intinya memuat sepuluh point di atas. Pernah ditulis
disertasi berjudul “Pemikiran Kalam HAMKA” dan “Pemikiran Kalam Syaikh
al-Maraghi”; isinya tidak lebih dari penelitian tokoh itu terhadap 10 konsep
diatas.
H.
Statis dan Konvensional
Penelitian
kalam klasik ini tergolong statis dan konvensional. Orang seperti tidak dapat
menemukan teori dan model penelitian baru. Ditambah lagi, penelitian ilmu kalam
cenderung hitam putih, dalam arti apabila pemikiran kalam seseorang yang diteliti
itu adalah A maka tidak mungkin dapat mengkonvergensi dengan pemikiran B. Orang
yang menganut faham bahwa manusia itu memiliki perbuatan dan bukan Tuhan yang
melakukan perbuatan seolah-olah ia adalah Mu’tazilah. Sementara kalau manusia
berencana Tuhan menentukan maka ia adalah Jabariyah, seperti tidak bisa
dipertemukan antara kemutlakan Tuhan dengan kehendak berbuat manusia.
Dua
kutub teologi Qadariyah dan Jabariyah memang cenderung ekstrem. Yang disebut
pertama adalah ekstrem dalam hal kekuasaan manusia, yang kedua ekstrem dalam
kemutlakan Tuhan. Demikian juga teologi Mu’tazilah dikesankan sebagai
representasi Qadariyah; dan teologi Asy’ariyah dikesankan sebagai Jabariyah.
Apakah dalam hidup manusia berlaku hukum “pasti ini pasti itu”? Akibatnya pembicaraan
dalam pemikiran kalam cenderung terjadi “pemborosan”, dalam arti terlalu banyak
waktu yang terbuang untuk memikirkan otoritas Tuhan atas manusia.
Teologi
yang dipelajari di IAIN dan PTAIS pada umumnya adalah warisan sejarah yang
sekarang cenderung kurang populer. Karena itu perlakuan kita hanyalah
menjadikannya catatan sejarah. Kita dapat menciptakan teologi alternatif yang
lebih baik tanpa terjebak pada produk pemikiran sejarah diatas.
III.
PENUTUP
Pembahasan kalam sebagaimana dipaparkan di
atas, baik yang berkaitan dengan pemahaman dasar tentang ilmu kalam, ruang lingkup pembahasan,
maupun metode yang digunakan dalam ilmu kalam, merupakan sebuah deskripsi
sekaligus analisis untuk melihat bagaimana sebetulnya paradigma keilmuan yang
ada dalam kalam. Ini penting seagai vantage point dalam rangka membuka
katup-katup “dogmatisme” dan mengembangkan sebuah konstruksi baru keilmuan
kalam ke depan seiring dengan dinamika perkembangan pemikiran dalam sejarah.
Dalam konteks ini, penting pula kiranya membedakan rekam jejak keilmuan kalam
sepanjang arkeologi sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
al-Asyari,
Abu Hasan, Kitab
al-Luma fir Radd ala Ahliz Ziyaghwal Bida’ Mathba’ah Muinah,
1955.
Amin, Ahmad, Fajar Islam, Jakarta: Bulan
Bintang: 1968.
Asy-Syahrastani,
Al-Milal wan Nihal, Jilid I, Beirut: Darul Ma’arif, 1980
Faruqi,
Ismail The Cultural Atlas of Islam, Bandung: Mizan, 1984.
Hasan, Ibrahim Hasan,
Tarikh al-Islam, as-Siyasah wad Diny ats-Tsaqafy wal Ijtima’i, Kairo:
Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976.
Madjid,
Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Al-Mas’udi,
Muruj az-Zahab wa Ma’adin al-Jawhr, Beirut: Dar el-Kitab al-Lubnani,
1982.
Nasution,
Harun. Teologi Islam, Jakarta :UI Press, 1994
0 komentar:
Post a Comment