1 HARI UNTUK 1000 KEBAHAGIAAN

Cerpen Karya Habibur Rahman


Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran menjadi kering dalam sekejap, tapi Pak Arnold tetap tak mau memberi keringanan hukuman padaku dan kedua sahabatku.
“Shannon Grayce!! Tetap berdiri disitu. Jangan manja!” Sahut Pak Arnold ketika aku mencoba bertukar posisi dengan Helen untuk menghindari sengatan matahari.
“Tapi pak, kita capek berdiri disini. Matahari sudah diatas kepala. Nanti kalau kulit kami gosong gimana? Memang bapak bisa membayar perawatan kami di salon mahal?” Sahutku
“SHANNON !! Hukuman kamu bertambah sampai jam pulang sekolah selesai, setelah itu bersihkan kamar mandi dekat perpustakaan. Jangan membantah lagi atau orang tuamu saya panggil menghadap guru BK.” Balas Pak Arnold dengan nada meninggi

Dua jam kemudian bel pulang sekolah berbunyi, kakiku serasa mati. Tapi hukuman ini masih harus ditambah lagi membersihkan kamar mandi dengan bau dan pemandangan mengerikan didepan mataku. Pak Arnold memang keterlaluan, kuku dan kulitku bisa rusak seketika setelah menjalankan hukuman itu. Helen dan Stef malah asyik nongkrong di kantin. Mereka tidak akan mau membantuku, mereka tidak akan rela perawatan mahalnya dirusak dengan “polusi kamar mandi”.

Aku berjalan melewati koridor menuju kelas XI IPA  untuk membereskan tas dan bukuku. Tiba-tiba seseorang menabrakku, gadis berparas cantik , anggun, pandai dan menjadi kebanggaan semua guru di sekolah ini. Tapi tidak untukku, dia adalah gadis yang paling menyebalkan diseluruh dunia dan selalu merebut apapun yang kuinginkan. Sebut saja namanya Denia, gadis asli Jawa dengan lesung pipit di pipi kiri dan kanannya.
“Eh maaf Sha, aku nggak sengaja. Aku buru-buru nyusul kamu ke lapangan, aku takut kamu kenapa-kenapa. Ini aku bawain tas kamu” Celetuk Denia sambil menyodorkan tasku
“Puas kan kamu bisa balas aku? Seneng kan lihat aku dihukum? Eh denger ya Denia yang sok cantik dan sok pinter, aku pasti bales kamu. Camkan itu!”Sahutku sambil mendorong Denia hingga ia jatuh tersungkur.

Aku berlari cepat menuju kamar mandi dan meninggalkan Denia. Mungkin Denia tak mengerti mengapa aku sangat membencinya padahal ia baik padaku. Aku sendiri tak tahu mengapa aku sangat membencinya, mungkin aku iri padanya. Ah tidak! Aku jauh lebih cantik dan lebih kaya darinya. Apa yang Denia punya dan aku tidak punya?

Satu jam berlalu, selesai sudah hukuman Pak Arnold. Saatnya pulang. Pak Didi supir pribadi keluargaku sudah menunggu didepan gerbang dan siap mengantarku pulang.
Selang berapa menit sudah terlihat dari kejauhan rumah megah bak istana dengan dua pilar kokoh di depan pintu masuknya, halaman yang luas dengan dua kolam ikan beserta air mancurnya, juga atap menjulang tinggi ke atas langit. Aku masuk dalam rumah itu dan meletakkan tubuhku sejenak diatas sofa, tak kulihat seorangpun disana. Mungkin Mama dan Papa belum pulang dari Inggris, sedangkan Kakakku Sheila Grayce juga entah kemana , mungkin dia sibuk dengan Olimpiade Internasionalnya. Suasana rumah seperti ini sudah menjadi pemandanganku setiap hari. Hanya ditemani 3 asisten rumah tangga juga 2 supir. Mama dan Papa memang jarang pulang, sekalinya pulang mereka pasti membicarakan tentang Sheila yang selalu nampak sempurna dengan kepandaian dan kecantikannya dimata mereka.

Aku beranjak dari sofa kemudian menuju kamarku, membujurkan tubuhku yang masih dibalut seragam SMA. Aku merasa sangat lelah. Pikiranku tertuju pada langit-langit kamar dan entah terbang kemana. Hampir setiap hari aku mendapat hukuman dari para guru, entah itu karena membolos , membuat onar ataupun kesalahan lainnya. Tapi aku tak perduli, aku suka bolos sekolah untuk shopping bersama Helen dan Stef atau hanya untuk sekedar jalan-jalan. Mama dan Papa tak pernah menanyakan kabarku, yang mereka tau hanyalah uang yang mereka berikan padaku itu sudah lebih dari cukup. Aku larut dalam lamunanku dan kemudian terlelap.

Sampai tibalah pada suatu hari ketika Mama dan Papa pulang dari Inggris, sebuah pertengkaran hebat terjadi. Pesawat yang ditumpangi Sheila hancur kandas menabrak sebuah gunung di dataran China, Sheila meninggal seketika dengan memeluk sebuah piala juara Olimpiade Internasional ditangannya. Sebenarnya aku tau kemana Sheila pergi, tapi dia sengaja melarangku memberitahukan hal ini pada Mama dan Papa. Katanya ini adalah sebuah kejutan.
“Bagaimana mungkin seorang Ibu tidak tau dimana dan kemana anaknya? Ibu macam apa kamu. Sekarang aku kehilangan Sheila anak kebanggaanku”Sahut Papa
“Lalu bagaimana dengan seorang Ayah yang selalu sibuk dengan pekerjaannya? Tidak sedikitpun meluangkan waktu untuk anaknya?”Balas Mama

PLAK
Suara itu terdengar jelas ditelingaku, tangan Papa tepat mendarat di pipi kanan mama dan Papa melakukannya di depan mata kepalaku. Tangan yang terbiasa melindungi Mama, kini malah menampar wajah mama. Aku hanya menangis. Berusaha berteriak, namun suara ini tertahan untuk keluar. Berbulan-bulan aku hidup berdampingan dengan kejadian gila ini. Dan selama itu pula aku selalu berharap agar kejadian gila itu segera berakhir.
Doaku terkabul, pertengkaran hebat ini berakhir di meja hijau. Terasa sangat berat ketika harus memilih Mama atau Papa. Tapi hidup harus tetap berjalan, hakim memutuskan bahwa aku harus ikut Mama. Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Mama dan Papa? Ada atau tidaknya mereka, aku tetap merasa sendiri karena mereka selalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Aku pernah berpikir, mungkin kehadiranku didunia ini tak pernah diharapkan. Oleh karena itu, mereka hanya menganggap Sheila. Sedangkan aku? Aku merasa terabaikan. Mungkin aku iri dengan Denia, dia memang tidak hidup berkecukupan tapi dia punya keluarga yang utuh dan sempurna yang selalu mengucurkan kasih sayang padanya.

Berita duka pun kembali terdengar oleh telingaku. Berita duka ini berasal dari keluarga Denia. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, dan hal ini bersamaan dengan meninggalnya Sheila. Sebenarnya aku sangat membenci Denia karena aku tak suka melihatnya bahagia dengan limpahan kasih sayang dari orang-orang disekelilingnya yang sangat jauh berbeda denganku. Temanpun aku tak punya, mereka membenciku karena aku jahat pada mereka. Helen dan Stef? Mereka berteman denganku ketika mereka membutuhkan uangku saja. Sekarang aku tak tahu harus senang atau sedih, karena sekarang aku sudah tak punya alasan untuk membenci Denia.
Waktu datang silih berganti, matahari menjemput tidurku dan menyadarkanku. Hari ini tepat 1 tahun kematian Sheila. Sejenak aku pandangi foto Sheila dalam bingkai usang satu-satunya yang aku miliki. Tuhan, aku merindukan Miss Perfect ini. Tak lama kemudian kubuyarkan lamunanku dan bergegas mandi.

Aku melihat diriku didepan kaca dan menyisir rambutku, tapi entah mengapa akhir-akhir ini rambutku sering rontok. Jalanku sempoyongan , kepalaku sering mengalami sakit yang hebat dan hidungku sering mengeluarkan darah.
Selama ini gejala itu tak pernah ku hiraukan, sampai pada suatu saat aku tak kuat lagi menahannya. Aku memutuskan untuk pergi ke dokter dan memeriksakannya. Telingaku serasa disambar petir ketika dokter mengatakan bahwa aku menderita KANKER OTAK Stadium 3. Aku tak percaya dengan hal ini. Pasti aku sedang bermimpi, ya mimpi buruk. Besok pagi aku akan terbangun dan aku akan baik-baik saja.

Mimpi buruk ini tak kunjung berakhir, aku sulit berjalan, kemampuan penglihatanku semakin lama semakin berkurang. Setengah tahun ini terlewati dengan kemoterapi, sesuatu yang sangat menyiksaku dan membuatku kehilangan rambut indahku. Sakit kepala ini sangat menyakitkan, aku butuh otakku untuk menghadapi ujian kelulusan sebentar lagi.
Tak seorangpun yang tau tentang penyakitku, bahkan Mamaku sendiri pun tak tau. Mama menetap di Australia untuk mengurus bisnisnya dan entah sampai kapan. Sebenarnya dirumah ada Bi Surti yang sudah puluhan tahun bekerja pada keluargaku bahkan setelah keluargaku hancur , Bi Surti tetap setia bertahan. Tapi aku tak memperbolehkannya bercerita pada Mama.

Suatu hari ketika aku menjalani kemoterapiku yang kesekian kalinya, aku bertemu dengan Denia di rumah sakit. Aku tak tau mengapa ia menangis dan meminta dokter untuk memberi keringanan padanya.
“Aku mohon, beri aku keringanan. Aku akan mencicilnya. Bantu aku untuk melanjutkan hidupku. Aku masih punya adik kecil yang tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja. Aku mohon dokter” Pinta Denia dengan air mata yang mengucur di pipinya
Aku menghampiri Denia. Aku merasa dia sedang dilanda masalah yang sangat besar dalam hidupnya, sama sepertiku. Dan ternyata benar, Denia mengalami gagal jantung stadium akhir yang diperkirakan mempunyai usia hidup kurang dari satu tahun apabila tidak dilakukan transplantasi. Nasibku dan Denia sama, waktu hidup kami memang jauh lebih singkat di banding manusia yang lain. Tuhan bisa kapan saja mengambil nyawaku dan Denia.

Aku menceritakan penyakitku pada Denia kemudian meminta maaf padanya atas perbuatanku selama ini. Air mata ini tak kuasa kutahan mengingat beribu perbuatan jahatku pada Denia. Denia menghapus air mataku dan dia tersenyum kepadaku. Dia tidak ingin melihatku menangis. Dia berkata bahwa dia sudah lama memaafkanku. Bodohnya aku Tuhan, aku dibutakan oleh rasa iriku padanya sehingga aku tak melihat ketulusan hatinya. Aku merasa malu dengan Denia, dia menderita sakit yang sama parahnya denganku tapi dia masih bisa membuat kebahagiaan untuk orang-orang disekelilingnya. Detik itu juga aku meminta Denia mengajarkanku berbuat baik dan menjadi lebih berguna.

Aku dan Denia menjadi jauh lebih dekat dari sebelumnya, bahkan teman-temanku mulai menyukaiku. Para guru melihat perubahan drastisku ,dulu aku adalah siswi yang sama sekali tidak diperhitungkan tapi sekarang aku berhasil menduduki 3 besar top student. Helen dan Stef tak tahu kemana, mereka menjauhiku mungkin karena aku sering menolak ajakan mereka untuk berbelanja dan membolos.
Hari demi hari berlalu, tak kuasa lagi rasanya kaki ini menyokong tubuhku sendiri. Akupun duduk dikursi roda. Bi Surti tak tega melihatku seperti ini. Lemah tak berdaya tanpa sehelai rambut menempel dikepalaku. Aku pasrah, Bi Surti menelfon Mama dan Mama memberitahu bahwa ia akan segera pulang ke Indonesia.

Pagi itu aku merasa bahwa inilah pagi terakhirku tinggal bersama kanker ini. Aku ingin menyudahi rasa sakit ini dengan menghabiskan waktuku untuk berbagi kebahagiaan. Dengan berbekal kursi roda , beberapa dus pakain dan nasi kotak. Aku dan Denia berangkat ke beberapa tempat dimana kami dapat berbagi kebahagiaan dan motivasi hidup yang lebih besar.
Sampailah kami di sebuah rumah yang ditumbuhi pepohonan rindang dimana banyak anak-anak bercanda, bermain dan tertawa riang. Ya, di panti asuhan kami melihat banyak bayi lucu yang lahir tanpa kedua orang tuanya dan anak-anak kecil yang entah dimana kedua orang tuanya berada. Sejenak aku teringat pada Mama, Papa dan kehidupanku 1 tahun yang lalu sewaktu kami masih bersama .


Aku dan Denia sempat menggendong beberapa bayi, bernyanyi dan tertawa bersama mereka. Melupakan sejenak rasa sakit hebat yang semakin lama semakin menggerogoti tubuh kami. Setelah puas bermain dan mendapat setruman motivasi kami bergegas menuju perempatan jalan. Disana kami menemukan banyak orang cacat dan para pengamen dengan baju kumuh dan perawakan yang lusuh. Tapi kami tak ingin meneteskan air mata, kami ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Sore ini kami makan bersama di pinggir jalan, kami tertawa bersama. Aku melihat mereka sangat senang sekali mendapat pakaian dan sepatu baru. Disini aku merasakan seperti mendapat keluarga baru bersama Denia.
Ditengah kehangatan pembicaraan kami, aku merasakan sakit kepala yang amat sangat. Seketika pandanganku kabur dan aku tak ingat apapun.

Udara dingin menusuk kulitku yang menyebabkan aku terbangun, mendapati infuse ditanganku dan selang bantuan pernafasan di hidungku. Aku melihat Mama, Papa dan Denia sudah berkumpul dihadapanku. Mama dan Papa menangis sambil memegang erat jemari tangan kanan dan kiriku. Aku tak tau apakah ini saat terakhirku menatap wajah mereka yang aku tau hanya tersenyum dan mengatakan “aku baik-baik saja”. Nafasku terasa sesak, kepalaku lagi-lagi terasa sakit. Tuhan, aku ingin sekali menyudahi rasa sakit ini. Aku buka selang oksigen yang menempel dihidungku dan aku mencoba bicara pada mereka.
“Hai Denia, kenapa menangis? Aku baik-baik saja, lihatlah”Sapaku pada Denia
Denia tak berkutik, dia berusaha menutupi kesedihannya melihat keadaanku seperti ini.

Sejenak pandanganku beralih pada wajah malaikat milik Mama dan Papa.
“Besok kita akan merayakan hari ulang tahunmu di rumah nenek di Inggris dan kamu akan baik-baik saja”Kata Papa dengan nada tegar
“Aku akan merayakannya, tapi aku mau ada Sheila disampingku”

Kami terdiam tanpa menatap satu sama lain.
“Mama Papa, Sha boleh minta sesuatu?”
“Katakanlah apapun yang kamu inginkan akan kami kabulkan”Kata Papa
“Sha minta Papa sama Mama bersatu lagi. Sha dan Sheila akan sangat bahagia melihat kalian bercanda tertawa bersama lagi. Sebenarnya Sha ingin membayar waktu kita yang hilang sia-sia selama bertahun-tahun. Sha ingin membahagiakan kalian seperti yang Sheila lakukan. Maafkan Sha yang belum bisa membuat kalian bangga. Maafkan Sha yang tidak pernah memberitahu tentang penyakit ini pada kalian. Terimakasih sudah menjaga Sha selama dibumi ini. Jika nanti Sha bertemu dengan Tuhan, Sha akan mengatakan bahwa kalian adalah orang tua terhebat dimuka bumi ini” Ujarku lirih menahan sakit yang meradang.
Mama dan Papa memelukku dan mereka berjanji akan mengabulkan permintaanku.
“Sha boleh minta satu lagi? Kalau boleh Sha mau kalian mengangkat Denia dan adiknya menjadi bagian dari keluarga kita untuk menggantikan Sha dan Sheila. Sayangi mereka seperti kalian menyayangi Sha dan Sheila. Jantung Sha akan diberikan untuk Denia. Kalian tidak perlu merasa kehilangan Sha karena setiap detakan jantung dan hembusan nafas Denia ada Sha.”

Suasana begitu hening, mataku mulai berkunang. Darah segar dari hidungku terus mengalir dengan deras. Perlahan mata ini menutup dengan sendirinya. Sebelum mulutku benar-benar terkunci untuk menuturkan kata-kata ini, dengan napas yang tak lagi teratur ku tuturkan kata-kata terahirku untuk mereka.
“Sha sangat sayang Mama dan Papa. Selamat tinggal”
Sejenak setelah mata ini tertutup perlahan, samar-samar kudengar ucap lirih dari bibir Denia
“Terima kasih, 1 hari untuk 1000 kebahagiaan”


Share on Google Plus

About SMP ALAM GENTENG

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment